"Dalam memahami firman Allah, Abu Bakar al-Shiddiq berkata, "Yang
dimaksud dengan al-barru adalah lisan sedangkan yang dimaksud dengan
al-bahru adalah kalbu. Jiwa-jiwa akan menangis jika lisan seseorang
rusak dan Malaikat akan menangis jika kalbu seseorang rusak " (Abu Bakar
al-Shiddiq Ra)
‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian
adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya,
“Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab,
“Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau
kemungkaran.”
Pada umumnya, apa yang keluar dari tubuh manusia adalah sesuatu yang
berbau tidak sedap. Mulai dari bau keringat, bau mulut, hingga bau yang
satu itu. Hanya beberapa organ tertentu saja yang masih memungkinkan
mengeluarkan keharuman. Lisan dengan kata-katanya yang indah, bermakna,
dan menyejukkan, akal dengan gagasan-gagasannya yang baik dan
bermanfaat, atau hati (qalb dalam bahasa Arab) seseorang dengan niat
tulusnya yang melahirkan amal-amal shalih. Apabila lisan, akal, dan hati
seseorang tidak bisa mengeluarkan yang baik, maka dapat dipastikan
seluruh tubuhnya hanya akan memproduksi bau busuk.
Kenyataannya, apa yang keluar dari akal, lisan, dan hati manusia
memiliki implikasi yang sangat luas terhadap dirinya dan orang lain.
Rasulullah Saw melukiskan lisan dan hati sebagai kekayaan yang sangat
berharga. ”Abdu bin Humaid menceriterakan ketika ayaat 34 surat
al-Taubbah (”dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak”) turun kami
sedang dalam suatu perjalanan. Kemudian beberapa orang sahabat berkata,
”Ayat tersebut turun berkenaan dengan emas dan perak. Seandainya kami
tahu harta yang paling baik, tentu kami akan menyimpannya.” Rasulullah
Saw kemudian bersabda, ”Harta yang paling baik adalah lisan yang selalu
berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan isteri yang beriman yang
membantu suaminya dalam merealisasikan keimanannya” (HR, al-Tirmidzi).
Tentu saja kenyataan itu harus benar-benar disadari oleh setiap insan.
Agaknya ungkapan Sayyidina Abu Bakar tersebut merefleksikan orang yang
memiliki kesadaran tinggi tentang implikasi gerak dua komponen diri
manusia tersebut (lisan dan hati).
Tak dapat dipungkiri, lidah adalah karunia Allah yang sangat berarti
bagi kehidupan manusia. Siapa pun pasti akan mengalami kesukaran untuk
berkomunikasi dan menyampaikan gagasan-gagasan, bahkan keinginannya,
kepada orang lain, tanpa melalui lisan. Barangkali lisan termasuk organ
tubuh paling utama yang sering beraktivitas dalam keseharian kita.
Bahkan dalam banyak hal, apa yang meluncur dari lisan menjadi ukuran
kualitas seseorang. “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata
yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak
terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat
sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa
derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah
murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang
akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu ternyata
karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR, Bukhari).
Dari lisan meluncur apa yang disebut ”kata”. Di sini penstrukturan tanda
atau bunyi menyimpan makna yang sangat penting dalam proses komunikasi.
Dengan ”kata”, sebuah tanda atau artikulasi diri dapat dipahami oleh
orang lain. Tanpa ”kata” yang meluncur dari lisan nyaris seseorang tidak
dapat merealisasikan keinginan-keinginannya yang paling fundamental
sekalipun yang karenanya ia akan teralienasi dari lingkungan otentiknya.
Oleh sebab itu posisi lisan dalam aktivitas kemanusiaan memiliki nilai
sangat strategis.
Nilai strategis lisan dalam kehidupan manusia tampak pada ungkapan
Rasulullah Saw ketika beliau menjawab pertanyaan Uqbah bin Amir. Dalam
satu riwayat Uqbah berkata, ”Aku bertanya kepada Nabi Muhammad Saw,
”Wahai Rasulullah Saw, apakah jalan keselamatan? Beliau menjawab,
”Tahanlah lidahmu, perluaslah rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu.” (HR,
al-Tirmidzi).
”Kata” yang meluncur dari lisan seseorang, implikasi dan pengaruhnya
bisa melebihi kapasitas dirinya dan zamannya. Akan menggema dan dapat
memantul di semua benua. Banyak ungkapan yang lahir dari lisan seseorang
memiliki nilai abadi.
Pada kenyataannya, sebuah keyakinan, gagasan, atau doktrin hanya dapat
dipahami melalui rangkaian kata-kata yang pada mulanya meluncur dari
lisan. Bahkan sebuah arketip atau pola yang diteladani dapat dipahami
oleh manusia pada awalnya melalui kata-kata. Oleh sebab itu nilai
strategis lisan dalam kehidupan manusia tak dapat diingkari oleh siapa
pun. Dalam sebuah hadits dikatakan, ”Tiada satu pun dari jasad manusia
melainkan akan mengadukan lidah kepada Allah Swt atas ketajamannya.”
(HR, Abu Dunia).
Aktivitas lisan bisa berefek ganda dan luar biasa pengaruhnya terhadap
tata hubungan manusia. Terkadang ia dapat meluncurkan sejumlah kebaikan
dan kemanfaatan yang luas bagi siapa yang menjaganya dengan baik dan
mempergunakannya sebagaimana diharapkan syari'at. Sebaliknya, lisan juga
dapat meluncurkan sejumlah kejelekan yang membahayakan dirinya dan
orang lain bagi siapa yang menggunakannya secara sembarangan.
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak
memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan
akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka
lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR, Bukhari)
Bahaya lisan yang tidak dikendalikan oleh norma dan tuntunan syari'at
bisa menyeret seseorang ke jurang kebinasaan. Untuk itu Rasulullah Saw
menasehati agar menjaga lidah dengan baik. Ia menganjurkan untuk bisa
diam ketika tidak bisa bicara baik. "Barang siapa beriman kepada Allah
dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah
". (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab ketajaman lidah mengalahkan ketajaman pedang yang mampu
menebas leher siapa pun, maka dimensi daya hancurnya kepada kehidupan
sangat luas. Rasulullah Saw bersabda:"Tidak ada satupun jasad manusia,
kecuali pasti kelak akan mengadukan lidah kepada Allah atas
ketajamannya".(HR, Ibnu Abi Dunya). Bahkan dosa bisa membiak dari lisan.
"Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya" (HR. Al-
Thabrani, Ibnu Abi Dunya, dan Al Baihaqi).
Atas dasar itu kita dapat memahami nilai keutamaan menjaga lidah yang
diajarkan oleh Islam. Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin mengatakan,
"Ketahuilah bahwa lidah bahayanya sangat besar, sedikit orang yang
selamat darinya, kecuali dengan banyak diam ". Luqman al-Hakim berkata:
"Diam itu adalah kebijakan, namun sedikit sekali orang yang
melakukannya". Rasulullah Saw bersabda, "Simpanlah lidahmu kecuali untuk
kebaikan, karena dengan demikian kamu dapat mengalahkan syaitan " (HR,
al-Thabarani dan Ibnu Hibban).
Ketika lisan mengalami kerusakan, maka akibat pastinya adalah
meluncurnya produk lisan yang membahayakan orisinalitas jiwa manusia.
Baik jiwa orang yang mengeluarkannya atau pun jiwa yang menangkapnya.
Selanjutnya, kesadaran azali kita, seperti ketika kita di tanya oleh
Sang Pencipta di alam azali, “Apakah aku Rabb kalian?” dan kita
menjawab, “Benar”, akan menjadi rusak pula karena diperkosa oleh
berbagai produk lisan yang menggencetnya. Akibatnya jiwa pun menangis
karenanya. Sebab jiwa pada dasarnya/secara orisinil senantiasa cenderung
mencari ketenangan, rasa nyaman dan kepuasan.
Kecenderungan itu akan menuntut pencarian pada segala sesuatu di luar
dirinya yang mampu menjaga dan berkesesuaian dengan orisinalitas jiwa.
Oleh karena itu, jiwa-jiwa pun akan menjerit bila dibombardir oleh
produk lisan yang buruk sebab hal itu sangat bertentangan dengan
kecenderungannya. Jika interaksi jiwa dengan produk lisan yang buruk
berlangsung secara terus menerus, maka orisinalitas jiwa akan tergerus
sedikit demi sedikit yang pada akhirnya akan melahirkan insensifitas
yang mengancam keselamatannya. Lebih parah jika sampai pada tingkat
kesadaran azalinya terbenam oleh ingar-bingar produk lisan.
Selain lisan, hati adalah komponen penting lain, yang posisinya sangat
menentukan perjalanan hidup manusia. Lathifah rabbaniyyah, yang amat
halus dan lembut; yang tidak kesatmata, tak berupa, dan tak dapat
diraba; yang bersifat Rabbani dan ruhani ini, pada hakikatnya merupakan
inti manusia. Dalam bahasa Arab, makna literal qalb adalah ”berbalik”
atau ”berputar balik”. Allah-lah yang membulak-balikkan hati manusia.
Dalam sebuah doa dikatakan ”ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ’ala
dinik.”
Hati laksana sebuah radar yang terus-menerus berputar dan mengamati
secara sepintas. Ia selalu mencari yang suci. Hati adalah cermin yang
dapat memantulkan cahaya Ilahiah. Imam Ghazali mengatakan, ”Wahai teman!
Hatimu adalah cermin yang mengkilap. Kau harus membersihkan debu yang
mengotorinya, karena hati ditakdirkan untuk memantulkan rahasia-rahasia
Ilahi. Oleh karena itu hati merupakan potensi utama yang dianugerahkan
kepada manusia. Oleh Allah Swt, hati diberi kemampuan untuk menyerap,
menghayati, memahami, dan mengenal segala sesuatu yang diinderai dan
dipercayainya demi kemajuan eksistensinya. Hati adalah medium kemajuan
spiritualitas manusia.
Oleh karena itu kemajuan kemanusiaan tidak hanya ada pada otak semata,
melainkan ada kekuatan lain yang lebih dahsyat dari kekuatan otak, akal,
dan pikiran, yaitu kekuatan hati. Sebab, kekuatan ini bukan hanya
mengantarkan manusia meraih sukses namun juga mampu mengantarkan pada
kemuliaan hidup dan kemajuan psiritualnya yang menentukan kualitas
dirinya. Dalam kajian sufi, hati dilukiskan sebagai raja yang mengatur
dan memerintahkan otak, pikiran dan panca indra manusia.
Allah Swt mengajarkan kepada manusia agar selalu mendengarkan suara hati
nuraninya dan karena itu kewajiban kita untuk memelihara kejernihannya.
Sebab dengan kejernihan hati diharapkan sifat-sifat mulia yang tertanam
di dalamnya dapat memancar ke prilaku lahiriah.
Sesungguhnya di dalam hati manusia sudah tertanam percikan sifat-sifat
“Illahiah”, sifat-sifat maha mulia Allah Swt, telah bersemayam. Dapat
dikatakan, semua yang hak, terindah, dan terbaik bersarang di dalamnya.
Melalui pemeliharaan yang serius hati manusia bisa terang benderang,
bercahaya dengan cahaya dari sifat-sifat-Nya Yang Maha Mulia, Yang Maha
Agung, dan Maha sempurna. Medium pemeliharaaan yang paling efektif
adalah dengan makrifat, yakni ilmu-ilmu yang berakar pada tauhid,
mengesakan Allah Swt.
Selanjutnya dengan makrifat yang terus mekar di hati, cahaya kebesaran
Allah, keindahan, dan keagunganNya akan terus memancar. Kesadaran
batinnya tentang yang benar dan salah akan selalu hidup. Dengan cahaya
itu ia dapat menagkap kemahamuliaan Allah Swt, mengambil dan mengamalkan
segala kehendak-Nya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa manfaat,
serta menjauhi sejauh-jauhnya segala yang membawa madarat. Memang hati
menjadi pusat kebaikan, ketenangan, kedamaian, kesehatan, dan
kebahagiaan hakiki.
Hati yang jernih dan sehat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih dan
pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan mulia berdasarkan suara hati
nurani yang bening. Socrates mengidentikkan suara hati dengan suara
peringatan batin yang diaanggapnya berasal dari Allah. Filosof lain
menyebutnya sebagai percikan ilahi yang mampu menyediakan pedoman dalam
kehidupan.
Kejernihan hati dapat menjadikan manusia menjadi mampu berpikir positif,
betindak bijak, cerdas, dan berbagai sifat-sifat mulia. Dengan hati
yang jernih, kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih
produktif untuk meraih kemuliaan hakiki. Sebab, seperti dikemukakan para
pemikir, manusia yang suara hatinya jernih karena berada dalam wadah
hati yang jernih merupakan fakultas akal yang mampu membedakan yang
benar dan yang salah.
Akan tetapi hati tidak akan dapat dijernihkan dengan cahaya ilahiah jika
ia teralingi oleh nafsu duniawi dan ternodai oleh maksiat. Kecerahannya
ditentukan oleh ketulusannya dalam mempersembahkan dirinya kepada Allah
yang merupakan tujuan awal bagi manusia dan kesaksian zalinya.
Ibnu ’Atha`illah dalam al-Hikam mengattakan, ”Bagaimana hati dapat
bersinar sementara bayang-bayang dunia terlukis dalam cerminnya? Atau,
bagaimana hati dapat berangkat menuju Allah sedangkan ia masih
terbelenggu oleh syahwatnya? Atau, bagaimana hati akan antusias
menghadap hadirat-Nya jika ia belum suci dari ”janabah” kelalaiannya?
Atau, bagaimana hati mampu memahami kedalaman rahasia-rahasia sedangkan
ia belum bertaubat dari kesalahannya?.
Lebih dari itu hati adalah kunci hubungan manusia dengan Tuhannya
dikarenakan ia tempat bersemayamnya iman. Hati juga menjadi kunci
hubungan dengan sesama manusia. Bahkan ia adalah sumber kesehatan fisik,
kekuatan mental, dan kecerdasan emosional. Dalam kajian sufi hati
menyimpan kecerdasan dan sekaligus kearifan yang terdalam bagi manusia.
Ia adalah lokus makrifat, genosis, atau pengetahuan spiritual. Dalam
sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya hati seorang
mukmin mampu memuat segala sesuatu yang tidaka dapat dimuat oleh langit
dan bumi.”
Oleh sebab posisi hati adalah terminal yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, sesamanya, dan alam, maka kejernihan hati dapat menjadikan
hubungan itu sehat, baik, dan konstruktif. Hubungan dengan Tuhannya
akan penuh ketundukan dan kecintaan. Hubungan dengan sesamanya akan
mengedepankan kasih sayang, kejujuran, kebersamaan dan saling
menghormati sehingga menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan. Hubungan
dengan alam dan lingkungannya dengan etik yang menyebabkan tidak
menimbulkan kerusakan.
Begitulah posisi strategis hati sangat menentukan kemanausiaan
seseorang. Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur Rasulullah Saw
bersabda, "Ingatlah sesungguhnya pada jasad itu ada segumpal daging,
apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka
rusak pulalah seluruh jasad. Ingatlah, ia adalah hati."
Oleh sebab itu jika hati rusak maka seluruh tata hubungan menjadi rusak
pula yang menyebabkan malaikat pun menangis. Dalam kitab al-Tadzkirah fi
Ahwal al-Maut wa Umur al-Akhirah, Imam al-Qurthubi mengutip sebuah
riwayat dari Imam al-Zuhri, Wahab bin Munabbih, dan lain-lainnya. Dalam
riwayat itu diceritakan bahwa ketika itu Allah mengutus malaikat Jibril
untuk membawakan tanah kepada – Nya.
Ketika diambil oleh Jibril, tanah memohon perlindungan kepada Allah dari
Jibril, sehingga Jibril tidak jadi membawanya. Hal yang sama juga
terjadi pada Malaikat kedua yang diutus. Akan tetapi, tidak demikian
halnya pada malaikat yang ketiga. Ia justru berhasil membawakan tanah
kepada Allah swt. Lalu Allah bertanya kepadanya, ”Apakah tanah itu tidak
memohon perlindungan kepada- Ku dari kamu ?” Malaikat menjawab, ”Ya”.
Allah bertanya lagi, ” Kenapa kamu tidak merasa kasihan kepadanya,
seperti kedua tanganmu?”. Malaikat menjawab, ”Aku lebih mengutamakan
taat kepada Engkau dari pada mengasihaninya (tanah)”. Allah berfirman,
”Pergilah! Kamu adalah malaikat maut, yang aku beri kuasa untuk mencabut
nyawa seluruh makhluk ”. Mendengar itu, malaikat menangis. Kemudian
Allah bertanya lagi, ”Kenapa kamu menangis?” Malaikat pun menjawab : ”
Ya Tuhan, dari tanah ini Engkau ciptakan para nabi dan makhluk pilihan
lainnya. Dan, Engkau tidak menciptakan makhluk yang lebih mereka benci
daripada kematian. Jika mereka mengenali aku, mereka pasti membenci dan
mencaci maki aku”. Wallahu A’lam