Dalam panggung sejarah manusia, pernah hidup dua orang saudara kandung.
Awalnya perjalanan hidup keduanya diwarnai keharmonisan dan saling
pengertian. Kondisi seperti ini berubah ketika keduanya mencapai usia
berkeluarga.
Sang ayah memerintahkan si kakak agar menikah dengan saudari kembar
adiknya, sementara adiknya dijodohkan dengan saudari kembarnya. Pada
titik ini nafsu buruk mulai mencuat dan berperan. Tidak seperti adiknya,
si kakak menolak perintah, lantaran pilihan sang ayah tak cocok dengan
harapannya. Kemudian sang ayah memerintahkan keduanya untuk berkorban.
Si kakak yang petani menyiapkan hasil tanamannya yang jelek . sebaliknya
adiknya yang peternak memilih yang terbaik diantara hewan peliharaanya.
Tentu saja kurban yang baik secara kualitas dan kuantitaslah yang
diterima Allah. Rasa iripun menguasai si kakak, lantas ia mengancam
untuk membunuhnya adiknya. Lantaran rasa takutnya kepada Allah, adiknya
tak mau meladeni dan membalas ancaman tersebut meskipun ia lebih
perkasa. Akhirnya, tumpahlah darah manusia untuk pertama kalinya.
Dibunuhlah sang adiknya, sekalipun setelah itu sang kakak merasakan
penyesalan yang amat dalam.
Itulah episode Qobil dan Habil, putera manusia dan Nabi Pertama , Adam
as. Qobil dan habil kini telah tiada dan tak mungkin hidup kembali. Akan
tetapi dua karakter manusia yang berbeda dan paradoksal itu akan tetap
eksis dan hidup pada diri anak cucu keturunan Adam as.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki
karakter , potensi, orientasi dan kecenderungan yang sama untuk mlakukan
hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia
yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya. Sehingga manusia
dikatakan sebagai makhluk alternatif, artinya ia bisa menjadi baik dan
tinggi derajatnya di hadapan Allah. Sebaliknya, ia pun bisa menjadi
jahat dan jatuh terperosok pada posisi yang rendah dan buruk. Ia bisa
bagai hewan, bahkan lebih jelek lagi. Dalam kaitan ini, manusia
dbierikan oleh Allah kekuatan ikhtiar atau usaha untuk bebas menggunakan
potensi positif dan negatifnya. Namun ia tak boleh melupakan, bahwa
semua pilihan dan tindakannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan
pengadilan tinggi Allah Yang Maha Adil, kelak di akhirat. Lantaran itu,
bukanlah pada tempatnya manakala manusia menjadikan takdir sebagai
alasan dan kambing hitam bila ia melakukan perbuatan negatif, dengan
mengatakan bahwa segala sesuatunya telah ditakdirkan Allah SWT. Seakan
manusia itu wayang yang tak biasa berperan kecuali bila diperankan sang
dalang. Padahal Allah tak akan merubah keadaan suatu kaum kalau mereka
tidak berusaha merubahnya.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Ar-Ra’d:
11)
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri, yang diajukan
kepada Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa dirinya melakukan
pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin
Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong , juga merupakan takdir
Allah. Namun di pihak lain, Allah pun tak biasa dipersamakan dengan
pembuat arloji. Setelah arloji itu dibikin dan dilempar ke pasar maka ia
tak tahu lagi bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar
atau sudah mati. Allah senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk
dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(QS Al-Baqarah: 255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus
mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS. 2:255).
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan
berperang. Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu
terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup
kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada
Qobil. Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa
Rasulullah SAW. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi
buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia
dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak
lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi
pribadi lain. Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah SAW
dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan
beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia
lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada
penduduk Madinah. Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah
Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah SAW, jiwa
negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan
membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhrinya ia mati
terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu
peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai
dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang
benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai,
bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke
dalam kubangan kebatilan. Disinilah betapa besar peranan lingkungan
yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru
kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman,
ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai
jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar
ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan
lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan,
pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan
preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Disamping itu,
diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta
peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap
perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala
jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk
orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya , apabila
jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia
termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah SWT.
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang
mengotorinya”(QS. 91:7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing
perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah,
lingkungan maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang
suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan
sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan
kerusakan.adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir
seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan
dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan
pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal
lahiriah. Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada
kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai
dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja
tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan
sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah
Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak
gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas.
Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah
gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan.
Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal
merobohkan bangunan, ia ebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras
tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan
jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian
sabda Rasulullah SAW.
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam
era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana
kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak
berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan
tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan
dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa
manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal
antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan
perkembangan dan kemajuan zaman. Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami,
meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan
dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah
SWT, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Salah faham terhadap
konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan
manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya
sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan
kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup.
Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya.
Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah
berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya,
mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah
sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam
keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang
yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang
jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan
kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak
setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan
lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan
menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih
lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang
yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa
yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang
–Nya.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang
puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan
masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.99:27-30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar